Moral manusia

Publié le par pasar

Ketika manusia di hadapkan pilihan


Merinding membaca berita peristiwa yang terjadi belakangan ini di tanah air. Penahanan anak kecil yang berlebihan, kematian ketua DPR Sumut dan masih banyak lainnya. Ada apa dengan bangsa saya? kemana semua hiasan manis yang terukir dalam bibir simbol keramahan bangsa indonesia? masih adakah kata sabar dan tawakal sesuai dengan pedoman bahwa negara berpijak kepada agama? Moral sebagai sesosok manusia sudah lepaskah dari jiwa?


Panas memang bila membaca ketidak adilan yang semakin laju di Indonesia, bila sudah begini mungkin kata sabar sukar sekali merambah dalam hati manusia. Semua meneriakan ketidak adilan, mengepal tangan tanda kegeraman, menyumpah serapah agar para manusia terkutuk yang sedang berdiri tegak meraup kekayaan haram segera tumbang dan hancur. Seram!…seram sekali melihatnya….duka pula melihat bangsa ini semakin jatuh dan rendah moralnya, untung hati ini masih bisa bernapas lega bila bertemu dan berbincang dengan para manusia yang masih lemah lembut dalam bertutur, masih menghelakan kesabaran dalam kehidupan dan masih melekat erat moral baik dalam pikiran dan hati.


Tak jauh-jauh saya ambil contoh sosok yang selalu saya kagumi, bapak saya. Dirinya ketika di tawarkan sebuah jabatan hanya melewatinya dengan senyum kemenangan, tentu saja kami tak mengerti. Beberapa waktu kemudian barulah terlihat orang yang akhirnya menerima jabatan itu telah berganti kemewahan secara kilat, Alhamdulillah bapakku tak ingin pendamping dan keturunannya menelan makanan haram. “Kemewahan dunia datang melalui tuhan bila manusia membuka tangannya lebar-lebar terhadap kebajikan katanya” satu kata yang terukir rapi dalam ingatan saya setiap kali bernapas.


Lalu ayah bapak saya di ambil nyawanya secara tragis, ditangannya kakek saya berpulang setelah dengan sekuat tenaga bapak saya mencoba menyelamatkannya. Keadilan tentu saja yang terlintas pesat, orang yang membunuhnya harus di penjara dan di adili. Namun yang terjadi sebaliknya, bapak melepaskan si pencabut nyawa ayahnya karena iba dengan kondisi keluarga si supir, “biarlah Allah saja yang mengadili kelak” sahutnya mantap.


Tapi yang membuat mata saya selalu tergenang bila orang menyebut nama bapak saya, ketika anak lelaki satu-satunya, turunan yang di nantikannya begitu lama, menghadap sang Khalik sekali lagi bapak melepaskan si algojo karena umur supir itu sama dengan putranya dan memiliki anak seumuran cucunya, iba bapak lebih kuat dari pada rasa geramnya, ketulusan hatinya melunakan murkanya, padahal dirinya begitu luka dan tak akan mampu terobati. Sosok dirinya sebagai seorang umat agama dan bangsa yang membuat saya selalu terharu bila orang membicarakan dirinya.


Bapak sosok yang tegas, ketika akan memegang jabatan banyak sekali yang ingin menerpa kegagalannya dengan kasar, sekali lagi dirinya berjalan tegak, bapak selalu bilang “biar saja mereka cuma manusia, saya ini minta perlindungannya langsung sama Gusti Allah bukan sama manusia lagi”. Dan ketika jabatan di genggam banyak sekali yang ingin menumbangkannya karena kesal bapak terlalu jujur, hingga permainan belakang menjadi macet. Ketika jabatannya usai, orang yang bapak pilih sebagai penggantinya memperlakukan dengan seenaknya, bapak hanya tersenyum, padahal saya tahu benar bapak sedih tapi begitulah dirinya, selama hanya manusia kesabarannya luar biasa, yang dia takutkan adalah di benci Sang Khalik.


Saya yakin orang seperti bapak masih banyak sekali, hanya memang belakangan ini yang sering  tertulis lebih kearah manusia tak bermoral. Entah karena porsi manusia bejat lebih banyak dari pada manusia berakhlak, atau memang begitu jatuhnya moral bangsa kita hingga bila ingin menulis kebaikan yang terjadi hampir tak nyata lagi?


Sudah saatnya mungkin juga kita mulai kembali menuliskan kejadian baik, walaupun hanya sepele sifatnya. Biar bangsa ini juga mulai terbiasa kembali dengan kata-kata indah, bernapas lega karena masih memiliki banyak sosok manusia yang mengerti moral sebagai umat manusia beragama dan berbangsa. Kejadian sinis ada pula perlunya  di seimbangkan dengan kemanisan peristiwa. Agar saya juga bisa membacakan berita ke pada anak saya dengan hangat bukan rasa cekam.

Publié dans Kompasiana

Pour être informé des derniers articles, inscrivez vous :
Commenter cet article